Cuplikan Buku
Kelemahan UU Pilkada Bertebaran
Uang(3- Habis)
Birokrasi Politik dan Demokratisasi
Oleh :
George da Silva (Penulis Buku)
 |
George da Silva |
PAMONG PRAJA atau lazim disebut Pengawai Negeri
Sipil (PNS) di era demokrasi seperti di Indonesia hanya mampu memangku jabatan
karier, tidak bisa menjadi seorang gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati, atau walikota/wakil walikota. Apabila ada berkeinginan untuk meraih
jabatan politik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota, yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari PNS
pada saat pendaftaran (pensiun dini). Sebelumnya birokrasi pemerintah atau
birokrasi yang dijalankan oleh pamong praja, pada Era Orde Baru bisa memangku
jabatan dengan mengambil cuti, dan setelah selesai masa jabatan kembali lagi
menjadi PNS aktif.
Birokrasi pemerintah bisa diartikan
sebagai kerajaan pejabat (officialdom),
dimana suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk
organisasi. Mereka bekerja dalam tatanan pola hirarkir sebagai perwujudan dari
tingkat otoritas dan kekuasaannya. Mendapat gajih berdasarkan keahlian dan
kompetensi. Selain itu, kerajaan pejabat tersebut proses komunikasinya
didasarkan pada dokumen tertulis.
Demokrasi yang sedang berkembang di
Indonesia, terkadang memusingkan pemimpin dengan berbagai intervensi Partai
Politik (Parpol) dalam birokrasi pemerintahan.
Hal ini, sangat terjadi untuk merubah sikap mental dan perilaku sistem
pemerintahan birokrasi. Parpol melakukan intervensi dengan menempatkan
orang-orang yang berpartisipan atau menjadi orang partai yang terselubung ke
dalam tatanan birokrasi pemerintah sebagai sumber kekuatannya. Hal ini, terjadi
dari pemerintah pusat sampai ke daerah struktur yang paling bawah mendekati
masyarakat. termasuk sekretaris desa yang sudah diintervensi ke dalam
undang-undang desa, bahwa sebagai sekretaris desa adalah PNS.
Bentuk birokrasi seperti ini, adalah
upaya dari Parpol membangun sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar
memilih partainya, karena birokrasi merupakan jembatan emas yang harus diraih
oleh setiap Parpol memanfaatkan sebaik-baiknya.
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah
dimanfaatkan sangat jeli sebagai sentralistik dan eksif. Berbagai studi ilmiah
dan tulisan-tulisan ilmiah yang mengatakan ada korelasi yang positif dan
siqnifikan antara tingkat hirarkir jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi hirarkir jabatan
seseorang dalam birokrasi, maka semakin
besar kekuasaan, dan sebaliknya semakin rendah hirarkirnya semakin tak
berdaya (powerless). Serta yang
berada di luar kekuasaan adalah rakyat yang sama sekali tidak memiliki kekuatan
atau pengaruh untuk menghadapi birokrasi pemerintah. Hal ini, akan dibidik oleh
semua Parpol untuk menempati orang-orangnya dalam kedudukan yang sangat
berpengaruh dalam organisasi suatuan kerja di pemerintahan.
Parpol Tinggal Nama
Bermunculan anggapan dari masyarakat
membuat birokrasi pemerintahan sangat tergantung kepada sesorang yang amat
berkuasa, sehingga sentralisasi kekuasaan sangat kuat. Jadi, ada benarnya
birokrasi pemerintah dicap sebagai kerajaan pejabat dan menjadi raja-raja kecil
dalam organisasi tata kerja pemerintahan. Apalagi, jika gubernur, bupati, dan
walikota dari Parpol yang mengusung atau mendukungnya dalam pemilihan, sudah
pasti secara terselubung menempatkan orang-orang perpanjangan dari Parpol,
sehingga mengokohkan kedudukan dan
aksesnya ke jajaran pejabat yang paling rendah. Bukan rahasia lagi, sampai
menempatkan kepala sekolah dari tingkatan Sekolah Dasar (SD), SLTA, SMA/SMAK
paling tidak orang-orang yang akan membantunya dalam memperkokohkan
kekuasaannya. Seharusnya pemilihan atau pengangkatan kepala sekolah itu, harus
benar orang yang berkompetensi baik secara administratif, akademis, pelatihan
jenjang jabatan, maupun manajerial kepemimpinan yang telah melalui
seleksi independensi.
Kondisi seperti ini, seharusnya
rakyat memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah tidak diperoleh secara
utuh, karena dalam pelayanan sudah pasti akan
terpilah-pilah, terkelompok siapa yang mengikuti Parpol pemimpin yang
sedang berkuasa. Berarti bukan selogan bahwa birokrasi melayani masyarakat,
tetapi sebaliknya masyarakat melayani birokrasi. Kekuasaan seperti ini, yang menciptakan
birokrasi tidak memiliki akuntabilitas kepada masyarakat.
Penggunaan kekuasaan dalam birokrasi
pemerintah yang dijalankan oleh pelaku-pelaku titipan Prapol, lebih menekankan
bahwa kekuasan tidak hanya berada di tangan elit birokrasi pemerintahan, tetapi
pelaksanaan kekuasaan berada di tangan elit yang tidak bertanggung jawab. Maka,
birokrasi pemerintah tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat. Mereka lupa
bahwa menjadi seorang gubernur, bupati, dan walikota adalah proses melalui
Pemilihan yang mana ditentukan oleh suara rakyat. Janji-janji ketika kampanye,
hanya sebagai retorika saja, tetapi pada kenyataannya berbalik 180 derajat.
Hanya visi, misi yang dimasukan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Apabila rakyat tidak mengikuti Pemilihan yang
diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali, pasti mereka tidak akan menjadi
pejabat birokrasi, dan jadi wakil rakyat, serta Parpol hanya tinggal nama saja,
karena tidak ada sebagai anggota Parpol.
Tindakan Jera PNS
Bagaimana caranya mengupayakan untuk
mengubah pemusatan atau sentralisasi kekuasaan yang sedang berada di tangan
elit birokrasi pemerintah, sehingga dapat menciptakan akuntabilitas,
kepercayaan dari masyarakat. Pusat kekuasaan segera dipisahkan antara birokrasi
pemerintah dan kekuasaan, sehingga diupayakan dalam bentuk desentralisasi.
Perlu merubah sistem yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk
berperan aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan, sehingga dapat
mengurangi peran Parpol dalam birokrasi pemerintahan. Hal ini, segera dilakukan
di segala organisasi pemerintahan, sehingga memutuskan penyimpangan Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang merupakan tindakan kesewenangan oleh oknum
PNS dan permainan Parpol.
Hal ini, tercipta juga persaingan dan
terjadi konflik elit politik antara birokrasi pemerintah dan Parpol dalam
merebut kekuasan hirarkir jabatan dalam organisasi birokrasi. Dinamika dan konflik yang muncul biasanya
menjelang Pemilihan Legislatif, Pemlihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota yang sedang berkuasa akan membentuk gurita kekuasaan sampai ke pemerintahan
paling dekat dengan rakyat yaitu desa.
Kejadian-kejadian ini, dapat dianggap
sebagai awal dalam memanfaatkan konflik politik antara birokrasi pemerintah dan
elit Parpol lebih terbuka perseteruannya. Tinggal saja apakah Aparat Sipil
Negara (ASN) terpengaruh dengan janji-janji Parpol atau penguasa, sehingga
kenetralannya sudah pudar di bawa kendali.
Kondisi politik praktis seperti ini,
jelas akan berpengaruh kepada kebijakan yang dilakukan oleh penguasa atau
birokrasi pemerintah terhadap sesuatu permasalahan yang menyangkut rakyat dan
demi kepentingan Parpol. Konflik elit Parpol dan elit birokrasi pemerintahan
akan terus berjalan, sebelum sistem dan peraturan yang mengatur jelas bahwa ASN
harus bersikap netral, tidak boleh terang-terangan keberpihakannya kepada salah
satu Parpol yang telah berjasa untuk menempatkan pada hirarkir jabatan tertinggi di suatu
organsiasi pemerintahan. Bila ASN melakukan keberpihakan kepada penguasa dari
Parpol tersebut, harus diberikan sanksi yang berat, sehingga merupakan tindakan
jera kepada setiap ASN.
Walaupun ASN
tidak melakukan secara terang-terangan keberpihakan, tetapi dalam kebijakan
yang diambil tersirat keberpihakan kepada gubernur, bupati, walikota berasal
dari Parpol yang mengusung atau mendukungnya. Penempatan pejabat struktural
dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) walaupun sudah melalui rapat Badan
Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baparjakat), tetapi pada tahap akhir
adalah di tangan gubernur, bupati, dan walikota yang adalah juga sebagai
penguasa yang dititipkan oleh Parpol yang bersangkutan. Tentunya, proses
penempatan itu sudah melalui prosedur dan ketentuan peraturan, tetapi penguasa
memiliki hak proregatif, sehingga para PNS yang tidak memiliki akses ke
penguasa dan Parpol akan gigit jari memanti ketiban rezeki. Karena menentukan
pejabat bukan lagi dari latar belakang pendidikan, golongan kepangkatan, usia,
pengalaman, dan berbagai pelatihan, tetapi kesukaan dari penguasa dan
kedekatan. Hal ini, menimbulkan konflik interen antara birokrasi pemerintahan,
penguasa, PNS, dan elit Parpol.
Tata
kepemerintahan yang baik (good governance)
merupakan suatu konsep yang dipergunakan dalam tatanan politik, administrasi
publik dan kekuasaan, sehingga menciptakan demokrasi, dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan di daerahnya. Dalam menganalisis beragam persolan
ini, para praktisi, dan akdemisi selalu mengemukakan berbagai pendapatnya dalam
mengindentifikasi prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata pemerintahan yang
baik dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Pemerintahan
yang baik adalah, merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses
kesejajaran, kesamaan, kesinambungan, keterbukaan, keseimbangan atau
transparan, serta kejujuran dalam melaksanakan peran serta adanya saling
kontrol. Upaya menyeimbangkan keanekaragam tersebut, merupakan peran yang harus
dimainkan oleh penguasa atau elit birokrasi pemerintahan. Apabila tidak bisa
memainkan keanekaragaman tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan, dan
adanya satu komponen mempengaruhi komponen yang lain, bahkan dominan
mempengaruhi semua komponen tersebut.
Kepincangan dalam menata berbagai kompenonen
tersebut, akan berpengaruh kepada gaya kepemimpinan penguasa dan elit birokrasi
pemerintah, sehingga memerlukan masyarakat ikut berperan dalam melakukan
pengkajian untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang demokoratis, terhindar
dari perannya Parpol dalam mempengaruhi penguasa dan menenpatkan person dalam
hirarkir jabatan organisasi pemerintahan. ***