Selasa, 12 Juli 2016

Cuplikan Buku Kelemahan UU Pilkada Bertebaran Uang(3- Habis) Birokrasi Politik dan Demokratisasi

Cuplikan Buku Kelemahan UU Pilkada Bertebaran 
Uang(3- Habis)

Birokrasi Politik dan Demokratisasi

Oleh : George da Silva (Penulis Buku)

George da Silva
PAMONG PRAJA atau lazim disebut Pengawai Negeri Sipil (PNS) di era demokrasi seperti di Indonesia hanya mampu memangku jabatan karier, tidak bisa menjadi seorang gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota. Apabila ada berkeinginan untuk meraih jabatan politik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota, yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari PNS pada saat pendaftaran (pensiun dini). Sebelumnya birokrasi pemerintah atau birokrasi yang dijalankan oleh pamong praja, pada Era Orde Baru bisa memangku jabatan dengan mengambil cuti, dan setelah selesai masa jabatan kembali lagi menjadi PNS aktif.
Birokrasi pemerintah bisa diartikan sebagai kerajaan pejabat (officialdom), dimana suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi. Mereka bekerja dalam tatanan pola hirarkir sebagai perwujudan dari tingkat otoritas dan kekuasaannya. Mendapat gajih berdasarkan keahlian dan kompetensi. Selain itu, kerajaan pejabat tersebut proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis.
Demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, terkadang memusingkan pemimpin dengan berbagai intervensi Partai Politik (Parpol) dalam birokrasi pemerintahan.  Hal ini, sangat terjadi untuk merubah sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan birokrasi. Parpol melakukan intervensi dengan menempatkan orang-orang yang berpartisipan atau menjadi orang partai yang terselubung ke dalam tatanan birokrasi pemerintah sebagai sumber kekuatannya. Hal ini, terjadi dari pemerintah pusat sampai ke daerah struktur yang paling bawah mendekati masyarakat. termasuk sekretaris desa yang sudah diintervensi ke dalam undang-undang desa, bahwa sebagai sekretaris desa adalah PNS.
Bentuk birokrasi seperti ini, adalah upaya dari Parpol membangun sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar memilih partainya, karena birokrasi merupakan jembatan emas yang harus diraih oleh setiap Parpol memanfaatkan sebaik-baiknya.
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah dimanfaatkan sangat jeli sebagai sentralistik dan eksif. Berbagai studi ilmiah dan tulisan-tulisan ilmiah yang mengatakan ada korelasi yang positif dan siqnifikan antara tingkat hirarkir jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi hirarkir jabatan seseorang dalam birokrasi, maka semakin  besar kekuasaan, dan sebaliknya semakin rendah hirarkirnya semakin tak berdaya (powerless). Serta yang berada di luar kekuasaan adalah rakyat yang sama sekali tidak memiliki kekuatan atau pengaruh untuk menghadapi birokrasi pemerintah. Hal ini, akan dibidik oleh semua Parpol untuk menempati orang-orangnya dalam kedudukan yang sangat berpengaruh dalam organisasi suatuan kerja di pemerintahan.

Parpol Tinggal Nama
Bermunculan anggapan dari masyarakat membuat birokrasi pemerintahan sangat tergantung kepada sesorang yang amat berkuasa, sehingga sentralisasi kekuasaan sangat kuat. Jadi, ada benarnya birokrasi pemerintah dicap sebagai kerajaan pejabat dan menjadi raja-raja kecil dalam organisasi tata kerja pemerintahan. Apalagi, jika gubernur, bupati, dan walikota dari Parpol yang mengusung atau mendukungnya dalam pemilihan, sudah pasti secara terselubung menempatkan orang-orang perpanjangan dari Parpol, sehingga mengokohkan kedudukan  dan aksesnya ke jajaran pejabat yang paling rendah. Bukan rahasia lagi, sampai menempatkan kepala sekolah dari tingkatan Sekolah Dasar (SD), SLTA, SMA/SMAK paling tidak orang-orang yang akan membantunya dalam memperkokohkan kekuasaannya. Seharusnya pemilihan atau pengangkatan kepala sekolah itu, harus benar orang yang berkompetensi baik secara administratif, akademis, pelatihan jenjang jabatan,  maupun  manajerial kepemimpinan yang telah melalui seleksi independensi.
Kondisi seperti ini, seharusnya rakyat memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah tidak diperoleh secara utuh, karena dalam pelayanan sudah pasti akan  terpilah-pilah, terkelompok siapa yang mengikuti Parpol pemimpin yang sedang berkuasa. Berarti bukan selogan bahwa birokrasi melayani masyarakat, tetapi sebaliknya masyarakat melayani birokrasi.  Kekuasaan seperti ini, yang menciptakan birokrasi tidak memiliki akuntabilitas kepada masyarakat.
Penggunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah yang dijalankan oleh pelaku-pelaku titipan Prapol, lebih menekankan bahwa kekuasan tidak hanya berada di tangan elit birokrasi pemerintahan, tetapi pelaksanaan kekuasaan berada di tangan elit yang tidak bertanggung jawab. Maka, birokrasi pemerintah tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat. Mereka lupa bahwa menjadi seorang gubernur, bupati, dan walikota adalah proses melalui Pemilihan yang mana ditentukan oleh suara rakyat. Janji-janji ketika kampanye, hanya sebagai retorika saja, tetapi pada kenyataannya berbalik 180 derajat. Hanya visi, misi yang dimasukan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda).  Apabila rakyat tidak mengikuti Pemilihan yang diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali, pasti mereka tidak akan menjadi pejabat birokrasi, dan jadi wakil rakyat, serta Parpol hanya tinggal nama saja, karena tidak ada sebagai anggota Parpol.

Tindakan Jera PNS
Bagaimana caranya mengupayakan untuk mengubah pemusatan atau sentralisasi kekuasaan yang sedang berada di tangan elit birokrasi pemerintah, sehingga dapat menciptakan akuntabilitas, kepercayaan dari masyarakat. Pusat kekuasaan segera dipisahkan antara birokrasi pemerintah dan kekuasaan, sehingga diupayakan dalam bentuk desentralisasi. Perlu merubah sistem yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan, sehingga dapat mengurangi peran Parpol dalam birokrasi pemerintahan. Hal ini, segera dilakukan di segala organisasi pemerintahan, sehingga memutuskan penyimpangan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang merupakan tindakan kesewenangan oleh oknum PNS dan permainan Parpol.
Hal ini, tercipta juga persaingan dan terjadi konflik elit politik antara birokrasi pemerintah dan Parpol dalam merebut kekuasan hirarkir jabatan dalam organisasi birokrasi.  Dinamika dan konflik yang muncul biasanya menjelang Pemilihan Legislatif, Pemlihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang sedang berkuasa akan membentuk gurita kekuasaan sampai ke pemerintahan paling dekat dengan rakyat yaitu desa.
Kejadian-kejadian ini, dapat dianggap sebagai awal dalam memanfaatkan konflik politik antara birokrasi pemerintah dan elit Parpol lebih terbuka perseteruannya. Tinggal saja apakah Aparat Sipil Negara (ASN) terpengaruh dengan janji-janji Parpol atau penguasa, sehingga kenetralannya sudah pudar di bawa kendali.
Kondisi politik praktis seperti ini, jelas akan berpengaruh kepada kebijakan yang dilakukan oleh penguasa atau birokrasi pemerintah terhadap sesuatu permasalahan yang menyangkut rakyat dan demi kepentingan Parpol. Konflik elit Parpol dan elit birokrasi pemerintahan akan terus berjalan, sebelum sistem dan peraturan yang mengatur jelas bahwa ASN harus bersikap netral, tidak boleh terang-terangan keberpihakannya kepada salah satu Parpol yang telah berjasa untuk menempatkan  pada hirarkir jabatan tertinggi di suatu organsiasi pemerintahan. Bila ASN melakukan keberpihakan kepada penguasa dari Parpol tersebut, harus diberikan sanksi yang berat, sehingga merupakan tindakan jera kepada setiap ASN.
            Walaupun ASN tidak melakukan secara terang-terangan keberpihakan, tetapi dalam kebijakan yang diambil tersirat keberpihakan kepada gubernur, bupati, walikota berasal dari Parpol yang mengusung atau mendukungnya. Penempatan pejabat struktural dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) walaupun sudah melalui rapat Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baparjakat), tetapi pada tahap akhir adalah di tangan gubernur, bupati, dan walikota yang adalah juga sebagai penguasa yang dititipkan oleh Parpol yang bersangkutan. Tentunya, proses penempatan itu sudah melalui prosedur dan ketentuan peraturan, tetapi penguasa memiliki hak proregatif, sehingga para PNS yang tidak memiliki akses ke penguasa dan Parpol akan gigit jari memanti ketiban rezeki. Karena menentukan pejabat bukan lagi dari latar belakang pendidikan, golongan kepangkatan, usia, pengalaman, dan berbagai pelatihan, tetapi kesukaan dari penguasa dan kedekatan. Hal ini, menimbulkan konflik interen antara birokrasi pemerintahan, penguasa, PNS, dan elit Parpol.
            Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep yang dipergunakan dalam tatanan politik, administrasi publik dan kekuasaan, sehingga menciptakan demokrasi, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di daerahnya. Dalam menganalisis beragam persolan ini, para praktisi, dan akdemisi selalu mengemukakan berbagai pendapatnya dalam mengindentifikasi prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata pemerintahan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
            Pemerintahan yang baik adalah, merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kesinambungan, keterbukaan, keseimbangan atau transparan, serta kejujuran dalam melaksanakan peran serta adanya saling kontrol. Upaya menyeimbangkan keanekaragam tersebut, merupakan peran yang harus dimainkan oleh penguasa atau elit birokrasi pemerintahan. Apabila tidak bisa memainkan keanekaragaman tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan, dan adanya satu komponen mempengaruhi komponen yang lain, bahkan dominan mempengaruhi semua komponen tersebut.
 Kepincangan dalam menata berbagai kompenonen tersebut, akan berpengaruh kepada gaya kepemimpinan penguasa dan elit birokrasi pemerintah, sehingga memerlukan masyarakat ikut berperan dalam melakukan pengkajian untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang demokoratis, terhindar dari perannya Parpol dalam mempengaruhi penguasa dan menenpatkan person dalam hirarkir jabatan organisasi pemerintahan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar