Jangan Dulu
Senang Daerah yang Meraih WTP dari BPK
Tidak Selamanya Kerugian Negara Indentik dengan Tindak
Pidana Korupsi
BERBAGAI DAERAH Propinsi, Kabupaten, dan Kota
akhir-akhir ini banyak yang mendapat penilaian Opini Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) hasil audit keuangan dari Badan Pemerisaan Keuangan (BPK). Ada yang
bertahun- tahun dalam kepemimpinan gubernur, bupati, dan walikota baru kesempatan
ini mendapat WTP. Jangan dulu merasa senang atau gembira, karena tidak ada
jaminan bahwa dikemudian hari dari hasil audit tersebut ternyata ada Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Satuan Kerja (Satker) yang melakukan tindak
pidana korupsi. Juga, tidak selamanya kerugian negara indentik dengan tindakan
pidana korupsi, karena bisa saja masuk ke ranah perdata atau ranah
administrasi.
Daerah yang
mendapat hasil audit penghargaan WTP merupakan hasil kerja keras selurus
elemen, dan semua catatan dalam hasil audit BPK bisa diselesaikan oleh
masing-masing SKPD/Satker dalam waktu yang tertentu. Hal ini, merupakan wujud
dari pencapaian kinerja pengelolaan keuangan yang telah diakui oleh BPK, sehingga
pencapaian ini harus bisa dipertahankan di tahun -tahun mendatang dan
seterusnya.
Walaupun
hasil audit BPK masih tertinggal catatan menyangkut soal teknis administrasi
yang harus dijalankan SKPD/Satker seperti mencermat administrasi, tertib
administrasi yang bersifat ringan, tetapi sering terlewatkan dalam hasil audit
di salah satu SKPD/Satker, kemudian ada indikasi “tindakan pidana korupsi”.
Maka belum bisa ada jaminan mendapat penghargaan WTP, ternyata ditemukan adanya
laporan dari anggota masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan orang
dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merasa ada ketidakberesan dalam
pengelolaan keuangan di SKPD/Satker yang bersangkutan.
Apalah kita mengatakan hasil audit dari BPK
itu “ambivalen”, karena tidak menjamin adanya tindak pidana korupsi. Apakah WTP
dari BPK itu tidak bisa diganggugugat oleh penegak hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan, dan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Hasil audit keuangan itu
hanya bersifat melihat apakah menguji kepatuhan peraturan perundang-undangan,
prosedur dan sitem Pedoman Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, tetapi tidak
berwenang mengatakan apakah melanggar ranah tindak pidana korupsi, ranah
perdata, dan ranah administrasi, yang berwenang adalah pihak Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK.
Bukan Pidana Korupsi
Opini Tanpa Pengecualian (WTP), Opini
Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP).
Keduanya opini WDP dan TMP mengindentifikasikan adanya penyimpangan penggunaan
anggaran yang mungkin saja timbul akibat kesalahan administrasi, sehingga harus
diperbaiki. Sementara daerah-daerah SKPD/Satker yang bersangkutan merasa tidak
ada penyimpangan penggunaan anggaran, karena sudah diaudit interen oleh
masing-masing Inspektorat, mapun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) di masing-masing propinsi, tetapi ada temuan dari BPK di masing-masing
propinsi yang menyatakan adanya penyimpangan pengelolaan keuangan.
Tidak selamanya “kerugian keuangan
negara” indentik dengan tindakan pidana korupsi. Hal ini, dimaksud Pasal 2, dan
Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, juga Pasal 32 memberikan kemungkinan adanya
kerugian keuangan negara, akan tetapi dalam ranah perdata, ranah administarsi.
Penyidikan terhadap suatu peristiwa
hukum tidak memenuhi unsur-unsur korupsi, maka penyidikan sudah dilakukan
secara komperhensip tidak hanya dari sudut pandangan auditor semata, juga
pendapat ahli lainnya. Bukti berdasarkan perspektif seorang auditor berbeda
dengan bukti berdasarkan perspektif yuridis.
Seorang auditor pada hakekatnya
menguji kepatahun terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur dan sistem
keuangan negara atau keuangan daerah. Sementara penyelidikan yang dilakukan
oleh penyidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan mengumpulkan
bukti dalam rangka menentukan ada atau tidak ada suatu tindak pidana.
Penyelidikan yang dilakukan terhadap suatu peristiwa tertentu lebih
mendalam, bila dibandingkan dengan hasil audit yang dilakukan terhadap suatu
peristiwa hukum. Indikasi kerugian keuangan negara berdasarkan termuan BPK pada
hakekatnya hanyalah berupa fakta. Apakah kerugian keuangan negara tersebut
berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, dan ranah tindak pidana korupsi
harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Klarifikasi atas temuan tersebut
bukan kewenangan BPK, bahwa BPK tidak memiliki preknowledge untuk
menjustifikasi apakah kerugian keuangan negara berada dalam ranah administrasi,
ranah perdata, dan ranah tindak pidana korupsi.
Tidak serta merta hasil audit BPK
tersebut menyatakan SKPD/Satker yang bersangkutan telah melakukan penyimpangan
keuangan negara, karena hasil audit tersebut harus dikembalikan kepada
instansi/SKPD/Satker yang bersangkutan untuk melengkapi kekurangannya selama 60
hari. Jika, instansi/SKPD/Satker tidak melengkapi selama 60 hari dan
mengembalikan kepada BPK, maka dianggap menyetujui hasil audit BPK.
Sering terjadi di daerah-daerah, ada
suatu kasus pada SKPD/Satker masih dalam pemeriksaan/audit interen Inspektorat
terhadap penilain bukti-bukti, tetapi ada laporan dari anggota masyarakat atau
interen SKPD/Satker tersebut kepada kepolisian/kejaksaan, langsung menghentikan
audit yang sedang dilakukan Inspektorat dan diambilalih oleh
kepolisian/kejaksaan tanpa pemberitahuan kepada SKPD/Satker yang bersangkutan.
Bukti-bukti tersebut kepolisian/kejaksaan menyerakan kepada BPKP atau BPK untuk
melalukan audit, dan BPKP/BPK telah menemukan adanya penyelewengan keuangan
negara/daerah tanpa memberikan kesempatan untuk melengkapi temuan tersebut.
Lansung saja penyidik kepolisian/kejaksaan menetapkan beberapa orang sebagai
tersangka.
Hal ini, karena ada pesanan khusus
atau target berapa banyak kasus yang harus ditangani kepolisian/kejaksaan
setempat dalam setahun atau semester.
Tindakan ini, menyebakan perbedaan pendapat/argumentasi antara BPKP/BPK,
Kepolisian, Kejaksaan dan para pakar/ahli tindak pidana korupsi dari akademisi.
Hal ini, jika ada koordinasi sejak awal tidak akan terjadi seseorang yang
seharusnya karena ketidaktahuan tentang keuangan negara/daerah djadikan sebagai
tersangka, dan pada akhirnya dijebloskan ke penjara atau Lapas. Mungkin saja kasusnya
masuk ke ranah administrasi atau ranah perdata. Semoga tidak terjadi di
hari-hari mendatang. (george da silva)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar