Selasa, 12 Juli 2016

Jangan Dulu Senang Daerah yang Meraih WTP dari BPK Tidak Selamanya Kerugian Negara Indentik dengan Tindak Pidana Korupsi

Jangan Dulu Senang Daerah yang Meraih WTP dari BPK

Tidak Selamanya Kerugian Negara Indentik dengan Tindak Pidana Korupsi

BERBAGAI DAERAH Propinsi, Kabupaten, dan Kota akhir-akhir ini banyak yang mendapat penilaian Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hasil audit keuangan dari Badan Pemerisaan Keuangan (BPK). Ada yang bertahun- tahun dalam kepemimpinan gubernur, bupati, dan walikota baru kesempatan ini mendapat WTP. Jangan dulu merasa senang atau gembira, karena tidak ada jaminan bahwa dikemudian hari dari hasil audit tersebut ternyata ada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Satuan Kerja (Satker) yang melakukan tindak pidana korupsi. Juga, tidak selamanya kerugian negara indentik dengan tindakan pidana korupsi, karena bisa saja masuk ke ranah perdata atau ranah administrasi.
            Daerah yang mendapat hasil audit penghargaan WTP merupakan hasil kerja keras selurus elemen, dan semua catatan dalam hasil audit BPK bisa diselesaikan oleh masing-masing SKPD/Satker dalam waktu yang tertentu. Hal ini, merupakan wujud dari pencapaian kinerja pengelolaan keuangan yang telah diakui oleh BPK, sehingga pencapaian ini harus bisa dipertahankan di tahun -tahun mendatang dan seterusnya.
            Walaupun hasil audit BPK masih tertinggal catatan menyangkut soal teknis administrasi yang harus dijalankan SKPD/Satker seperti mencermat administrasi, tertib administrasi yang bersifat ringan, tetapi sering terlewatkan dalam hasil audit di salah satu SKPD/Satker, kemudian ada indikasi “tindakan pidana korupsi”. Maka belum bisa ada jaminan mendapat penghargaan WTP, ternyata ditemukan adanya laporan dari anggota masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bahkan orang dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merasa ada ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan di SKPD/Satker yang bersangkutan.
 Apalah kita mengatakan hasil audit dari BPK itu “ambivalen”, karena tidak menjamin adanya tindak pidana korupsi. Apakah WTP dari BPK itu tidak bisa diganggugugat oleh penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Hasil audit keuangan itu hanya bersifat melihat apakah menguji kepatuhan peraturan perundang-undangan, prosedur dan sitem Pedoman Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, tetapi tidak berwenang mengatakan apakah melanggar ranah tindak pidana korupsi, ranah perdata, dan ranah administrasi, yang berwenang adalah pihak Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.

Bukan Pidana Korupsi
Opini Tanpa Pengecualian (WTP), Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Keduanya opini WDP dan TMP mengindentifikasikan adanya penyimpangan penggunaan anggaran yang mungkin saja timbul akibat kesalahan administrasi, sehingga harus diperbaiki. Sementara daerah-daerah SKPD/Satker yang bersangkutan merasa tidak ada penyimpangan penggunaan anggaran, karena sudah diaudit interen oleh masing-masing Inspektorat, mapun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di masing-masing propinsi, tetapi ada temuan dari BPK di masing-masing propinsi yang menyatakan adanya penyimpangan pengelolaan keuangan.
Tidak selamanya “kerugian keuangan negara” indentik dengan tindakan pidana korupsi. Hal ini, dimaksud Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, juga Pasal 32 memberikan kemungkinan adanya kerugian keuangan negara, akan tetapi dalam ranah perdata, ranah administarsi.
Penyidikan terhadap suatu peristiwa hukum tidak memenuhi unsur-unsur korupsi, maka penyidikan sudah dilakukan secara komperhensip tidak hanya dari sudut pandangan auditor semata, juga pendapat ahli lainnya. Bukti berdasarkan perspektif seorang auditor berbeda dengan bukti berdasarkan perspektif yuridis.
Seorang auditor pada hakekatnya menguji kepatahun terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur dan sistem keuangan negara atau keuangan daerah. Sementara penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan mengumpulkan bukti dalam rangka menentukan ada atau tidak ada suatu tindak pidana.
Penyelidikan yang dilakukan  terhadap suatu peristiwa tertentu lebih mendalam, bila dibandingkan dengan hasil audit yang dilakukan terhadap suatu peristiwa hukum. Indikasi kerugian keuangan negara berdasarkan termuan BPK pada hakekatnya hanyalah berupa fakta. Apakah kerugian keuangan negara tersebut berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, dan ranah tindak pidana korupsi harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Klarifikasi atas temuan tersebut bukan kewenangan BPK, bahwa BPK tidak memiliki preknowledge untuk menjustifikasi apakah kerugian keuangan negara berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, dan ranah tindak pidana korupsi.
Tidak serta merta hasil audit BPK tersebut menyatakan SKPD/Satker yang bersangkutan telah melakukan penyimpangan keuangan negara, karena hasil audit tersebut harus dikembalikan kepada instansi/SKPD/Satker yang bersangkutan untuk melengkapi kekurangannya selama 60 hari. Jika, instansi/SKPD/Satker tidak melengkapi selama 60 hari dan mengembalikan kepada BPK, maka dianggap menyetujui hasil audit BPK.
Sering terjadi di daerah-daerah, ada suatu kasus pada SKPD/Satker masih dalam pemeriksaan/audit interen Inspektorat terhadap penilain bukti-bukti, tetapi ada laporan dari anggota masyarakat atau interen SKPD/Satker tersebut kepada kepolisian/kejaksaan, langsung menghentikan audit yang sedang dilakukan Inspektorat dan diambilalih oleh kepolisian/kejaksaan tanpa pemberitahuan kepada SKPD/Satker yang bersangkutan. Bukti-bukti tersebut kepolisian/kejaksaan menyerakan kepada BPKP atau BPK untuk melalukan audit, dan BPKP/BPK telah menemukan adanya penyelewengan keuangan negara/daerah tanpa memberikan kesempatan untuk melengkapi temuan tersebut. Lansung saja penyidik kepolisian/kejaksaan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka.
Hal ini, karena ada pesanan khusus atau target berapa banyak kasus yang harus ditangani kepolisian/kejaksaan setempat dalam setahun  atau semester. Tindakan ini, menyebakan perbedaan pendapat/argumentasi antara BPKP/BPK, Kepolisian, Kejaksaan dan para pakar/ahli tindak pidana korupsi dari akademisi. Hal ini, jika ada koordinasi sejak awal tidak akan terjadi seseorang yang seharusnya karena ketidaktahuan tentang keuangan negara/daerah djadikan sebagai tersangka, dan pada akhirnya dijebloskan ke penjara atau Lapas. Mungkin saja kasusnya masuk ke ranah administrasi atau ranah perdata. Semoga tidak terjadi di hari-hari mendatang. (george da silva)

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar