Cuplikan Buku
Kelemahan UU Pilkada Bertebaran Uang
Suasana Demokrasi Pilkada Menjadi Kerajaan Pejabat
Oleh George
da Silva (Penulis Buku)
UNDANG-UNDANG tentang Pemilihan Kepala Daerah Gubernur,
Bupati dan Walikota di Indonesia, sejak diberlakukan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah perubahan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota, dengan perubahan regulasi ini, membuat pelaksanaan aplikasinya di
lapangan oleh Penyelenggara Pemilihan (Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya,
Badan Pengawas Pemiliu dan jajarannya) tidak sesuai dengan kenyataan. Politik
Uang (Money Politic) bertebaran di
saat kampanye, hari tenang dan hari pemilihan, karena ada larangan tetapi
sanksi pidanya tidak ada membuat Panwas
tidak berdaya.
Oleh karena itu, UU ini harus
direvisi total atau diganti dengan UU yang baru. Hal ini, bisa menimbulkan
birokrasi pemerintahan menjadikan kerajaan pejabat, disebabkan pertumbuhan
kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan, sejalan dengan kekuasaan yang dimiliki
disebabkan berkembangnya fungsi sosial-ekonomi yang memilih Pegawai Negeri
Sipil (PNS), karena adanya tekanan ideologi dan politik untuk meraih pendapatan
secara tanpa keringat basah yang meleleh.
Perubahan dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 ini, terutama tercantum dalam Pasal 26 Tugas Wakil Kepala Daerah,
Pasal 42 Tugas dan Wewenang Dewan Perwakil Rakyat Daerah (DPRD), Pasal 56
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dipilih dalam Satu Pasangan Calon
(Paslon), Pasal 58 Persyaratan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
Pasal 59 Peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Dukungan Calon
Perseorangan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota, Pasal 60, Pasal 62 Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik Dilarang Menarik Calonnya, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 75
Kampanye, Pasal 107 Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Meraih
Sura dalam Pemilihan, Pasal 108, Pasal 115 Tindak Pidana Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 233 Pemungutan Suara dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 235, Pasal 236A Pembentukan Badan
Pengawas Pemilu DPRD Berwenang Membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 263B Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tidak Mengundurkan Diri dari Jabatannya, Pasal 236C Sengketa Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh
Mahkamah Agung Dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 239A.
Hakekat dari perubahan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 ini, adalah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah diterapkan prinsip demokrasi sesuai dengan Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam
arti bisa diwakili oleh Anggota DPRD atau melalui pemilihan secara langsung
oleh rakyat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih
secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh Partai Politik (Parpol) atau
Gabungan Partai Politik.
Berdasarkan perkembangan dan dinamika
keinginan dari masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi, serta perkembangan
hukum dan politik untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, maka
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu dilakukan secara lebih
transparan dan tertib dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dimana penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah, perlu dikakukan perubahan dengan memberi kesempatan bagi
calon perseorang (independent) untuk
mengikut dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini, karena
pengkaderan di dalam partai politik dan menerima pastisipasi antar gabungan
partai politik, sehingga calon perseorang tidak dapat ditampung. Oleh karena
itu, didukung dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi memperbolehkan calon
perseorangan milihan mengikukti pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
Diharapkan melalui pemilihan kepala
derah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh masyarakat, agar pemerintah
daerah lebih leluasa mengurus otonomi daerah, sehingga mampu meningkatkan daya
saing dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi yang berkembang, pemerataan
pembangunan, rasa keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam ssstem
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, maka perlu memperhatikan hubungan antar
pemerintahan dan antar pemerintah daerah serta keanekaragaman daerah. Tentu,
pemerintah daerah akan memiliki dan mampu menjalankan perannya, sehingga daerah
diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Birokrasi Kerajaan
Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
Pemerintah. Daerah mempunyai kewenangan membuat kebjakan daerah untuk memberikan
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tetapi, harus diperhatikan juga
adalah birokrasi pemerintahan yang sering disebut dengan kerajaan pejabat (officialdom), mereka selalu memamerkan
kekuasaan secara terpatri menggunakan hirarkir kepangkatan dan struktural.
Pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan, sejalan dengan kekuasaan
yang dimiliki disebabkan berkembangnya fungsi sosial-ekonomi yang memilih
Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena adanya tekanan ideologi dan politik untuk
meraih pendapatan secara tanpa keringat basah yang meleleh. Hal ini, membawa
pengaruh terhadap masyarakat dan tidak ada organisasi kemasyarakatan lain yang
mampu mengimbangi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang semakin kokoh di pemerintahaan.
Mengharapkan kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semuanya sudah masuk
ke dalam lingkaran birokrasi, dengan iming-iming membagi kue pembangunan selama
birokrasi dalam kekuasaan kepala adaerah dan wakil kepala daerah.
Politik dan birokrasi pemerintahan
keduanya berbeda, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan, sehingga
kehadiran politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari, maka perlu
adanya kelembagaan politik dalam birokrasi pemerintahan. Kita sadari bahwa,
birokrasi pemerintah tidak mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa
memberi kesempatan hadirnya institusi politik, sehingga terciptanya
jabatan-jabatan birokrasi karier dan jabatan-jabatan politik. Kebanyakan di
daerah-daerah mempraktekan jabatan politik dan birokrasi, tetapi harus jelas
wewenang, fungsi, tugas dan tanggung jawab. Hal ini, adalah membagi-bagi
kekuasaan kepala daerah dan wakil kepala daerah, bagi tim sukses atau partai
politik atau gabungan partai politik yang mengusung dan mendukung ketika pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sisi lain kehadiran partai politik
dalam pemerintahan yang dipresentasikan dalam kedudukan struktural Piminan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), tetap berpengaruh demi kepentingan jangka
pendek maupun jangka menengah, bahkan kepentingan elit politik. Tidak dipungkiri, penempatan
sesorang sebagai Pimpinan/Kepala Bidang/Kepala Seksi dalam satu SKPD sebagai
mesin penggerak mengumpulakn keuangan
untuk partai politik yang bersangkutan. (bersambung…..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar