Rabu, 18 Mei 2016

Cuplikan Buku Kelemahan UU Pilkada Bertebaran Uang
Suasana Demokrasi Pilkada Menjadi Kerajaan Pejabat
Oleh George da Silva (Penulis Buku)

UNDANG-UNDANG tentang Pemilihan Kepala Daerah Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia, sejak diberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan perubahan regulasi ini, membuat pelaksanaan aplikasinya di lapangan oleh Penyelenggara Pemilihan (Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya, Badan Pengawas Pemiliu dan jajarannya) tidak sesuai dengan kenyataan. Politik Uang (Money Politic) bertebaran di saat kampanye, hari tenang dan hari pemilihan, karena ada larangan tetapi sanksi  pidanya tidak ada membuat Panwas tidak berdaya.

Oleh karena itu, UU ini harus direvisi total atau diganti dengan UU yang baru. Hal ini, bisa menimbulkan birokrasi pemerintahan menjadikan kerajaan pejabat, disebabkan pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan, sejalan dengan kekuasaan yang dimiliki disebabkan berkembangnya fungsi sosial-ekonomi yang memilih Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena adanya tekanan ideologi dan politik untuk meraih pendapatan secara tanpa keringat basah yang meleleh.

Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ini, terutama tercantum dalam Pasal 26 Tugas Wakil Kepala Daerah, Pasal 42 Tugas dan Wewenang Dewan Perwakil Rakyat Daerah (DPRD), Pasal 56 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dipilih dalam Satu Pasangan Calon (Paslon), Pasal 58 Persyaratan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 59 Peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Dukungan Calon Perseorangan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, Pasal 60, Pasal 62 Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Dilarang Menarik Calonnya, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 75 Kampanye, Pasal 107 Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Meraih Sura dalam Pemilihan, Pasal 108, Pasal 115 Tindak Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 233 Pemungutan Suara dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 235, Pasal 236A Pembentukan Badan Pengawas Pemilu DPRD Berwenang Membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 263B Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tidak Mengundurkan Diri dari Jabatannya, Pasal 236C Sengketa Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung Dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 239A.
Hakekat dari perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ini, adalah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam arti bisa diwakili oleh Anggota DPRD atau melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh Partai Politik (Parpol) atau Gabungan Partai Politik.
Berdasarkan perkembangan dan dinamika keinginan dari masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi, serta perkembangan hukum dan politik untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, maka pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu dilakukan secara lebih transparan dan tertib dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, perlu dikakukan perubahan dengan memberi kesempatan bagi calon perseorang (independent) untuk mengikut dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini, karena pengkaderan di dalam partai politik dan menerima pastisipasi antar gabungan partai politik, sehingga calon perseorang tidak dapat ditampung. Oleh karena itu, didukung dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi memperbolehkan calon perseorangan milihan mengikukti pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Diharapkan melalui pemilihan kepala derah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh masyarakat, agar pemerintah daerah lebih leluasa mengurus otonomi daerah, sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi yang berkembang, pemerataan pembangunan, rasa keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam ssstem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan  efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, maka perlu memperhatikan hubungan antar pemerintahan dan antar pemerintah daerah serta keanekaragaman daerah. Tentu, pemerintah daerah akan memiliki dan mampu menjalankan perannya, sehingga daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Birokrasi Kerajaan
Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya dalam arti daerah  diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah mempunyai kewenangan membuat kebjakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tetapi, harus diperhatikan juga adalah birokrasi pemerintahan yang sering disebut dengan kerajaan pejabat (officialdom), mereka selalu memamerkan kekuasaan secara terpatri menggunakan hirarkir kepangkatan dan struktural. Pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan, sejalan dengan kekuasaan yang dimiliki disebabkan berkembangnya fungsi sosial-ekonomi yang memilih Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena adanya tekanan ideologi dan politik untuk meraih pendapatan secara tanpa keringat basah yang meleleh. Hal ini, membawa pengaruh terhadap masyarakat dan tidak ada organisasi kemasyarakatan lain yang mampu mengimbangi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang semakin kokoh di pemerintahaan. Mengharapkan kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semuanya sudah masuk ke dalam lingkaran birokrasi, dengan iming-iming membagi kue pembangunan selama birokrasi dalam kekuasaan kepala adaerah dan wakil kepala daerah.
Politik dan birokrasi pemerintahan keduanya berbeda, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan, sehingga kehadiran politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari, maka perlu adanya kelembagaan politik dalam birokrasi pemerintahan. Kita sadari bahwa, birokrasi pemerintah tidak mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa memberi kesempatan hadirnya institusi politik, sehingga terciptanya jabatan-jabatan birokrasi karier dan jabatan-jabatan politik. Kebanyakan di daerah-daerah mempraktekan jabatan politik dan birokrasi, tetapi harus jelas wewenang, fungsi, tugas dan tanggung jawab. Hal ini, adalah membagi-bagi kekuasaan kepala daerah dan wakil kepala daerah, bagi tim sukses atau partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung dan mendukung ketika pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sisi lain kehadiran partai politik dalam pemerintahan yang dipresentasikan dalam kedudukan struktural Piminan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), tetap berpengaruh demi kepentingan jangka pendek maupun jangka menengah, bahkan kepentingan  elit politik. Tidak dipungkiri, penempatan sesorang sebagai Pimpinan/Kepala Bidang/Kepala Seksi dalam satu SKPD sebagai mesin penggerak mengumpulakn  keuangan untuk partai politik yang bersangkutan. (bersambung…..)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar