Mutasi
Guru SDN 02 Lebakharjo Konflik
Kepentingan
Politik Praktis Telah “Merasuk Tatanan”
Birokrasi Pemerintahan
ISU yang berkembang adanya konflik pribadi antara Guru Sekolah Dasar
Negeri (SDN) Lebakharjo 02, Kecamatan Ampelgading, Maryatum dan salah seorang Anggota DPRD
Kabupaten Malang, berakhir dengan memindahan guru ke sekolah lain yaitu SDN 04
Lebakharjo. Kepala Sekolah SDN 02
Lebakharjo, Para Guru, Kepala Desa, bahkan Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Dinas
(UPTD) Taman Kanak dan SD Pendidikan Kecamatan Ampelgading menolak untuk
pemindahan tersebut. Tetapi dengan surat dari Bupati berdasarkan usulan dari
Dinas Pendidikan, akhirnya dipindahkan ke SDN 04. Ini, adalah bentuk intervensi
dari Anggota DPRD, yang telah merasuk ke dalam Tatanan Birokrasi Pemerintahan
dan telah menyentuh sampai ke guru-guru SD.
Konflik Bu Guru Maryatum dengan
seorang Aggota DPRD Kabupaten Malang sudah berlangsung cukup lama sekitar enam
bulan, pada saat Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Malang 2015 lalu.
Informasi yang berkembang karena sang Bu Guru ini, memfasilitasi salah satu
Partai Politik (Parpol) di rumahnya, tetapi dibantah oleh sang Bu Guru tidak
pernah melakukan hal itu, karena dia sebagai seorang PNS sudah 20 tahun.
Jika, benar Bu
Maryatum sebagai PNS memfasilitas Paropol ketika Pemilihan, tentunya ada
laporan dari Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan (Panwascam), Kecamatan
Ampelgading melakukan peneguran atau melakukan klarifikasi. Jadi, bisa saja ini
hanya isu, atau benar-benar adanya kejadian tersebut, tetapi permainannya
sangat rapih, sehingga tidak terdeteksi oleh Panwascam ataupun Pengawas Pemilu
Lapangan (PPL) di desa yang bersangkutan.
Sedangkan Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten Malang, Budi Iswoyo membantah ada motof lain dibalik pemindahan Bu
Guru Maryatum, karena mutasi ataupun promosi hanya bagian dari kebutuhan
organisasi, sehingga tidak ada alasan bagi PNS untuk menolak mutasi. Mutasi
ini, bisa pada guru yang berprestasi, tetapi mutasi Bu Guru Maryatum bukan
dalam rangka sanksi, karena tidak pernah melakukan kesalahan.
Merasuk Birokrasi
Pemerintah
Demokrasi yang sedang berkembang di
Indonesia, terkadang memusingkan pemimpin daerah dengan berbagai intervensi
Parpol dalam birokrasi pemerintahan. Hal
ini, sangat terjadi untuk merubah sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan
birokrasi. Parpol melakukan intervensi dengan menempatkan orang-orang yang
berpartisipan atau menjadi orang partai yang terselubung ke dalam tatanan
birokrasi pemerintah sebagai sumber kekuatannya. Hal ini, terjadi dari
pemerintah pusat sampai ke daerah struktur yang paling bawah mendekati
masyarakat. Termasuk para guru SD, SMP, SMA/SMK, dan sekretaris desa yang sudah
diintervensi ke dalam undang-undang desa, bahwa sebagai sekretaris desa adalah
PNS serta perangkat desa.
Bentuk birokrasi seperti ini, adalah
upaya dari Parpol membangun sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar
memilih partainya, karena birokrasi merupakan jembatan emas yang harus diraih
oleh setiap Parpol memanfaatkan sebaik-baiknya. Jika, melihat adanya PNS yang
berpihak kepada lawan politiknya, maka sudah pasti yang bersangkutan akan “disangkar
emaskan” atau mutasi ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya.
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah
dimanfaatkan sangat jeli sebagai sentralistik dan eksif. Berbagai studi ilmiah
dan tulisan-tulisan ilmiah yang mengatakan ada korelasi yang positif dan
siqnifikan antara tingkat hirarkir jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi hirarkir jabatan
seseorang dalam birokrasi, maka semakin
besar kekuasaan, dan sebaliknya semakin rendah hirarkirnya semakin tak
berdaya (powerless). Serta yang
berada di luar kekuasaan adalah rakyat yang sama sekali tidak memiliki kekuatan
atau pengaruh untuk menghadapi birokrasi pemerintah. Hal ini, akan dibidik oleh
semua Parpol untuk menempati orang-orangnya dalam kedudukan yang sangat
berpengaruh dalam organisasi suatuan kerja di pemerintahan.
Bermunculan anggapan dari masyarakat
membuat birokrasi pemerintahan sangat tergantung kepada sesorang yang amat
berkuasa, sehingga sentralisasi kekuasaan sangat kuat. Jadi, ada benarnya
birokrasi pemerintah dicap sebagai “kerajaan pejabat” dan menjadi raja-raja
kecil dalam organisasi tata kerja pemerintahan. Apalagi, jika gubernur, bupati,
dan walikota dari Parpol yang mengusung atau mendukungnya dalam pemilihan,
sudah pasti secara terselubung menempatkan orang-orang perpanjangan dari
Parpol, sehingga mengokohkan kedudukan
dan aksesnya ke jajaran pejabat yang paling rendah. Bukan rahasia lagi,
sampai menempatkan kepala sekolah dari tingkatan Sekolah Dasar (SD), SLTA,
SMA/SMAK paling tidak orang-orang yang akan membantunya dalam memperkokohkan
kekuasaannya. Seharusnya pemilihan atau pengangkatan kepala sekolah itu, harus
benar orang yang berkompetensi baik secara administratif, akademis, pelatihan
jenjang jabatan, maupun manajerial kepemimpinan yang telah melalui
seleksi independensi.
Kondisi seperti ini, seharusnya rakyat memperoleh
pelayanan dari birokrasi pemerintah tidak diperoleh secara utuh, karena dalam
pelayanan sudah pasti akan
terpilah-pilah, terkelompok siapa yang mengikuti Parpol pemimpin yang
sedang berkuasa. Berarti bukan selogan bahwa birokrasi melayani masyarakat,
tetapi sebaliknya masyarakat melayani birokrasi. Kekuasaan seperti ini, yang menciptakan
birokrasi tidak memiliki akuntabilitas kepada masyarakat. Jadi, benar apa yang
ditulis oleh George da Silva dalam buku berjudul “Kelemahan UU Pilkada Bertebaran
Uang Birokrasi Politik dan Demokratisasi”
Buku ini, menggambarkan penggunaan
kekuasaan dalam birokrasi pemerintah yang dijalankan oleh pelaku-pelaku titipan
Prapol, lebih menekankan bahwa kekuasan tidak hanya berada di tangan elit birokrasi
pemerintahan, tetapi pelaksanaan kekuasaan berada di tangan elit yang tidak
bertanggung jawab. Maka, birokrasi pemerintah tidak mempunyai akuntabilitas
terhadap rakyat.
Mereka lupa bahwa menjadi seorang
gubernur, bupati, dan walikota adalah proses melalui Pemilihan yang mana
ditentukan oleh suara rakyat. Janji-janji ketika kampanye, hanya sebagai
retorika saja, tetapi pada kenyataannya berbalik 180 derajat. Hanya visi, misi
yang dimasukan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang
kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Apabila rakyat tidak mengikuti Pemilihan yang
diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali, pasti mereka tidak akan menjadi
pejabat birokrasi, dan jadi wakil rakyat duduk di DPR/DPRD, serta Parpol
hanya tinggal nama saja, karena tidak ada sebagai anggota Parpol.
Tetapi kita sama-sama yakin, bahwa
Bupati Rendra tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, karena sudah
berpengalaman dalam berpolitik maupun tata pemerintahan birokrasi, sehingga
tidak akan terpengaruhi oleh permainan politik praktis dari Parpol maupun
perseorangan. Sebagai pemimpin tentunya mempunyai kepribadian yang integritas
yang matang, dan tidak semudah apa yang kita pikirkan. Bukan karena
keberpihakan kepada salah satu Parpol, tetapi karena berprestasi dan yang
menilai adalah atasannya, yaitu Dinas Pendidikan. (George da silva).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar