Minggu, 28 Agustus 2016

Mutasi Guru SDN 02 Lebakharjo  Konflik Kepentingan

Politik Praktis Telah “Merasuk Tatanan” Birokrasi Pemerintahan
ISU yang berkembang adanya konflik pribadi antara Guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) Lebakharjo 02, Kecamatan Ampelgading,  Maryatum dan salah seorang Anggota DPRD Kabupaten Malang, berakhir dengan memindahan guru ke sekolah lain yaitu SDN 04 Lebakharjo.  Kepala Sekolah SDN 02 Lebakharjo, Para Guru, Kepala Desa, bahkan Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Taman Kanak dan SD Pendidikan Kecamatan Ampelgading menolak untuk pemindahan tersebut. Tetapi dengan surat dari Bupati berdasarkan usulan dari Dinas Pendidikan, akhirnya dipindahkan ke SDN 04. Ini, adalah bentuk intervensi dari Anggota DPRD, yang telah merasuk ke dalam Tatanan Birokrasi Pemerintahan dan telah menyentuh sampai ke guru-guru SD.

            Konflik Bu Guru Maryatum dengan seorang Aggota DPRD Kabupaten Malang sudah berlangsung cukup lama sekitar enam bulan, pada saat Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Malang 2015 lalu. Informasi yang berkembang karena sang Bu Guru ini, memfasilitasi salah satu Partai Politik (Parpol) di rumahnya, tetapi dibantah oleh sang Bu Guru tidak pernah melakukan hal itu, karena dia sebagai seorang PNS sudah 20 tahun.

 Jika, benar Bu Maryatum sebagai PNS memfasilitas Paropol ketika Pemilihan, tentunya ada laporan dari Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan (Panwascam), Kecamatan Ampelgading melakukan peneguran atau melakukan klarifikasi. Jadi, bisa saja ini hanya isu, atau benar-benar adanya kejadian tersebut, tetapi permainannya sangat rapih, sehingga tidak terdeteksi oleh Panwascam ataupun Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di desa yang bersangkutan.

            Sedangkan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, Budi Iswoyo membantah ada motof lain dibalik pemindahan Bu Guru Maryatum, karena mutasi ataupun promosi hanya bagian dari kebutuhan organisasi, sehingga tidak ada alasan bagi PNS untuk menolak mutasi. Mutasi ini, bisa pada guru yang berprestasi, tetapi mutasi Bu Guru Maryatum bukan dalam rangka sanksi, karena tidak pernah melakukan kesalahan.

Merasuk Birokrasi Pemerintah
Demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, terkadang memusingkan pemimpin daerah dengan berbagai intervensi Parpol dalam birokrasi pemerintahan.  Hal ini, sangat terjadi untuk merubah sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan birokrasi. Parpol melakukan intervensi dengan menempatkan orang-orang yang berpartisipan atau menjadi orang partai yang terselubung ke dalam tatanan birokrasi pemerintah sebagai sumber kekuatannya. Hal ini, terjadi dari pemerintah pusat sampai ke daerah struktur yang paling bawah mendekati masyarakat. Termasuk para guru SD, SMP, SMA/SMK, dan sekretaris desa yang sudah diintervensi ke dalam undang-undang desa, bahwa sebagai sekretaris desa adalah PNS serta perangkat desa.
Bentuk birokrasi seperti ini, adalah upaya dari Parpol membangun sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar memilih partainya, karena birokrasi merupakan jembatan emas yang harus diraih oleh setiap Parpol memanfaatkan sebaik-baiknya. Jika, melihat adanya PNS yang berpihak kepada lawan politiknya, maka sudah pasti yang bersangkutan akan “disangkar emaskan” atau mutasi ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya.
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah dimanfaatkan sangat jeli sebagai sentralistik dan eksif. Berbagai studi ilmiah dan tulisan-tulisan ilmiah yang mengatakan ada korelasi yang positif dan siqnifikan antara tingkat hirarkir jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power). Semakin tinggi hirarkir jabatan seseorang dalam birokrasi, maka semakin  besar kekuasaan, dan sebaliknya semakin rendah hirarkirnya semakin tak berdaya (powerless). Serta yang berada di luar kekuasaan adalah rakyat yang sama sekali tidak memiliki kekuatan atau pengaruh untuk menghadapi birokrasi pemerintah. Hal ini, akan dibidik oleh semua Parpol untuk menempati orang-orangnya dalam kedudukan yang sangat berpengaruh dalam organisasi suatuan kerja di pemerintahan.
Bermunculan anggapan dari masyarakat membuat birokrasi pemerintahan sangat tergantung kepada sesorang yang amat berkuasa, sehingga sentralisasi kekuasaan sangat kuat. Jadi, ada benarnya birokrasi pemerintah dicap sebagai “kerajaan pejabat” dan menjadi raja-raja kecil dalam organisasi tata kerja pemerintahan. Apalagi, jika gubernur, bupati, dan walikota dari Parpol yang mengusung atau mendukungnya dalam pemilihan, sudah pasti secara terselubung menempatkan orang-orang perpanjangan dari Parpol, sehingga mengokohkan kedudukan  dan aksesnya ke jajaran pejabat yang paling rendah. Bukan rahasia lagi, sampai menempatkan kepala sekolah dari tingkatan Sekolah Dasar (SD), SLTA, SMA/SMAK paling tidak orang-orang yang akan membantunya dalam memperkokohkan kekuasaannya. Seharusnya pemilihan atau pengangkatan kepala sekolah itu, harus benar orang yang berkompetensi baik secara administratif, akademis, pelatihan jenjang jabatan,  maupun  manajerial kepemimpinan yang telah melalui seleksi independensi.
Kondisi seperti ini, seharusnya rakyat memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah tidak diperoleh secara utuh, karena dalam pelayanan sudah pasti akan  terpilah-pilah, terkelompok siapa yang mengikuti Parpol pemimpin yang sedang berkuasa. Berarti bukan selogan bahwa birokrasi melayani masyarakat, tetapi sebaliknya masyarakat melayani birokrasi.  Kekuasaan seperti ini, yang menciptakan birokrasi tidak memiliki akuntabilitas kepada masyarakat. Jadi, benar apa yang ditulis oleh George da Silva dalam buku berjudul “Kelemahan UU Pilkada Bertebaran Uang Birokrasi Politik dan Demokratisasi”

Buku ini, menggambarkan penggunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah yang dijalankan oleh pelaku-pelaku titipan Prapol, lebih menekankan bahwa kekuasan tidak hanya berada di tangan elit birokrasi pemerintahan, tetapi pelaksanaan kekuasaan berada di tangan elit yang tidak bertanggung jawab. Maka, birokrasi pemerintah tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat.
Mereka lupa bahwa menjadi seorang gubernur, bupati, dan walikota adalah proses melalui Pemilihan yang mana ditentukan oleh suara rakyat. Janji-janji ketika kampanye, hanya sebagai retorika saja, tetapi pada kenyataannya berbalik 180 derajat. Hanya visi, misi yang dimasukan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda).  Apabila rakyat tidak mengikuti Pemilihan yang diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali, pasti mereka tidak akan menjadi pejabat birokrasi, dan jadi wakil rakyat duduk di DPR/DPRD, serta Parpol hanya tinggal nama saja, karena tidak ada sebagai anggota Parpol.
Tetapi kita sama-sama yakin, bahwa Bupati Rendra tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, karena sudah berpengalaman dalam berpolitik maupun tata pemerintahan birokrasi, sehingga tidak akan terpengaruhi oleh permainan politik praktis dari Parpol maupun perseorangan. Sebagai pemimpin tentunya mempunyai kepribadian yang integritas yang matang, dan tidak semudah apa yang kita pikirkan. Bukan karena keberpihakan kepada salah satu Parpol, tetapi karena berprestasi dan yang menilai adalah atasannya, yaitu Dinas Pendidikan. (George da silva).

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar