Selasa, 14 Juni 2016

Cuplikan Buku Kelemahan UU Pilkada Bertebaran Uang (2); Hiru Pikuk Keputusan Pemilihan Kepala Daerah

Cuplikan Buku Kelemahan UU Pilkada Bertebaran Uang (2)
Hiru Pikuk Keputusan Pemilihan Kepala Daerah

REFORMASI yang terus bergulir, maka demokrasi yang menjadi ikon atau simbol kekuasaan menjadi mercusuar, ternyata anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang terpilih pada Tahun 2014 mencoba mengangkat ide untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kembali ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipilih oleh anggota DPRD berorientasi kepada Perubahan ke II UUD 1945, Pasal 18 ayat (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokrasi”. Alasan inilah, bahwa dipilih secara demokrasi artinya bisa melalui perwakilan dalam hal ini adalah anggota DPRD, karena dinilai pembiayaan untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menghaburkan uang bermiliaran, dan calon perorangan ditiadakan. Semua calon harus melalui partai politik yang memiliki kursi di DPRD sesuai ketentuan, sehingga bisa 1 (satu) partai menjadi pengusung atau gabungan partai yang tidak memiliki kursi di DPRD sesuai ketentuan yang berlaku.
George da Silva
Hal yang sama, Perubahan ke III UUD 1945 Pasal 22E ayat (2) “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Makna dari pasal ini, berarti pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak diatur dalam UUD 1945, maka pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat, berarti harus ada terlebih dahulu perubahan atau amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (2).
Timbul pertanyaan, apakah Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bertentangan dengan UUD 1945, bila di lihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selanjutnya pertanyaan, apakah Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah benar dan tepat untuk dilaksanakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2015. Hal ini, perlu menguji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota  Undang-Undang, yang menjadi pedoman dasar untuk menyelenggarakan semua tahapan proses pemilihan pada tanggal 9 Desember 2015 yang lalu.

Keputusan DPR
Pada tanggal 24 September 2014, terjadi perdebatan dan pembentukan faksi-faksi di DPR RI yang masih kental dengan kekalahan dalam Pemilihan Presiden Tahun 2014. Kelompok Pertama Koalisi Indonesia Hebat (KIH) memiliki total kursi 208 di DPR RI yang dipelopor oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 109 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 kursi, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 16 kursi, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 36 kursi yang dideklarasikan pada saat acara Deklarasi Joko Widodo dan HM Yusuf Kalla (Jokiwi-JK) pada tanggal 19 Mei di Gedung Djoeang Jakarta. Kelompok KIH sangat minoritas di DPR RI dan segala pimpinan di DPR RI maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) semua dikuasi oleh Kelompok Kedua Koalisi Merah Putih (KMP). KHI telah mendapat pendukung baru yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 39 kursi pada Oktober 2014 dan Partai Amanat Nasional (PAN) 48 kursi pada bulan September 2015, sehingga berbalik KIH menjadi mayoritas di DPR RI sebanyak 295 kursi dibandingkan dengan KMP hanya memiliki 204 kursi dan Partai Demokrat (PD) memiliki 61 kursi. berhadapam dengan KMP.
DPR RI yang tergabung dalam KMP memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dikembalikan secara tidak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD. Keputusan ini, didukung oleh 226 anggota DPR RI dimotori oleh Partai Gerinda yang terdiri dari Fraksi Partai Gokar (F-PG) 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 44 orang, dan Fraksi Partai Gerinda (F-Gerinda) 32 orang ketika Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) berada di luar negeri, dan memerintahkan Farksi PD di DPR RI melakukan wallk out keluar dari ruangan sidang tidak memberi keputusan menerima atau menolak.
Keputusan ini, menyebabkan beberapa pihak dan masyarakat merasa kecewa dinilai sebagai langkah mundur di bidang “pembangunan demokrasi”. Dicarilah celah-celah kelemahan untuk menggagalkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak langsung atau dipilih oleh anggota DPRD melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada pro dan kotra di kalangan akademisi, praktisi, LSM, dan partai politik dinilai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung atau tidak langsung sama saja. Namun, satu hal yang prinsip walaupun dalam pelaksanaan pemilihan langsung ternyata menyenangkan hati rakyat. Pertama pemilihan tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang, dan Kedua pemilihan tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus yaitu, hak pilih dan hak legislasi. Jika, pemilihan secara langsung tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD sebagai warga negara hilang, tetapi haknya memilih tetap ada. Selain itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Propinsi, Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten dan Kota (Panwaskab/Kota), Pengawas Pemilihan Kecamatan (Panwascam), dan Pengawas Pemilihan Lapangan (PPL) tidak lagi menangani pemilihan kepala daderah dan wakil kepala daerah.
Sepulangnya SBY dari luar negeri, suara rakyat semakin tajam menghendaki pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dipilih oleh rakyat, serta dengan pola pemilihan secara serentak di seantero tanah air dengan alasan tujuan untuk menekan biaya penyelenggaraan atau efisiensi anggaran (budget) yang selama ini dinilai tidak masuk akal dengan pengeluaran bermiliar-miliaran untuk memperoleh dan menghasilkan seorang pemimpin di daerah. Selain itu, pemilihan serentak untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, sehingga menjadi parameter atau ukuran kualitas dari pesta demokrasi yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Dengan demikian, pemimpin di daerah harus menempatkan urusan rakyat sebagai sekala prioritas dalam setiap pengembilan kebijakan atau keputusan.
Dasar penilaian dikembalikannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokrasi “ untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Perppu ini, telah ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang, selanjutnya lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Ternyata undang-undang masih jauh dari sempurnah, karena dalam waktu hanya setahun saja terjadi perubahan 4 (empat) kali Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pemerintah dan legislatif telah menyepakati Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubenur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota secara serentak untuk kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2015 dan semuanya telah terselenggara pada tanggal 9 Desember 2015.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disebut Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Data di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan sudah dilaksanakan ada pemilihannya sebanyak 272 daerah yang berstatus Akhir Masa Jabatan (AMJ) apada tahun 2015 dan terdapat 68 daerah lainnya dengan AMJ yang jatuh pada semester pertama tahun 2016, yang dimasukkan ke dalam untuk mengikuti Pemillihan Tahun 2015.  Kenyataan di lapangan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serentak pada tanggal 9 Desember 2015 yang baru lalu dilaksanakan pada 269 daerah meliputi 9 (Sembilan) propinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota di Indonesia menyisahkan banyak permasalahan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar